BUKITTINGGI, HALUAN DEMOKRASI – Kasus kejahatan ujaran kebencian merupakan kasus kejahatan yang berada dalam dunia maya yang sulit dijangkau oleh aparat penegak hukum untuk menjerat pelaku ujaran kebencian karena para penegak hukum haruslah juga orang-orang yang tidak kalah canggih dalam mencari bukti di jejaring internet, walaupun sudah ada tim khusus dari Polri untuk menangani kasus tersebut. Banyak kendala yang dihadapi karena model kejahatan ini merupakan kejahatan yang ruang lingkupnya sangat luas yaitu dunia maya.
Ciri-Ciri Ujaran Kebencian :
1. Target Diskriminatif :Ujaran kebencian biasanya menargetkan kelompok berdasarkan identitas atau karakteristik tertentu.
2. Mengandung Kebencian atau Kekerasan : Ungkapan ini sering kali mengandung elemen kebencian, keburukan, atau ajakan untuk kekerasan terhadap kelompok tertentu.
3. Penyebaran Negatif : Ujaran kebencian dapat menyebar luas, terutama melalui media sosial, dan dapat mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap kelompok yang menjadi target
Berikut adalah beberapa contoh hoaks dan ujaran kebencian di media sosial:
1. Surat tagihan pajak palsu yang mengatasnamakan Direktorat Jenderal Pajak
2. Akun Fufufafa yang menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian
3. Sindikat Saracen yang menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian secara terorganisir
Ujaran kebencian adalah tindakan yang bertujuan menghina dan merusak nilai individu atau kelompok lain. Contoh ujaran kebencian di media sosial adalah: Komentar kasar, Video yang menghina, Perkataan atau komentar yang menggiring opini buruk, Penindasan kaum minoritas atau disabilitas. Hoaks dapat menimbulkan dampak negatif, seperti: Keresahan masyarakat, Kerugian finansial, Rusaknya reputasi individu dan organisasi
Upaya ujar kebencian :
Namun, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi ujaran kebencian di media sosial, di antaranya: Meningkatkan literasi publik, Meningkatkan konten positif, Mengklarifikasi kebenaran berita yang diduga hoaxs secara cepat dan sinergis, Meningkatkan kemampuan polisi siber.
Dalam hukum Indonesia, penyebaran berita bohong atau hoaxs dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar. Hal ini diatur dalam Pasal 28 ayat (3) Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sementara itu, ujaran kebencian dapat berupa penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, menghasut, menyebarkan berita bohong.
Kemudian, terdapat 2 (dua) metode penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana ujaran kebencian di media sosial dengan menggunakan akun palsu yang saat ini dilakukan Bareskrim Polri. Secara pemidanaan telah diatur dalam KUHP pada Pasal 156 dan 157. Sedangkan pada Undang-Undang ITE terdapat pada Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) yang hukumannya diatur pada Pasal 45 dan 45A, serta terdapat pula peraturan turunan, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 dan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015 terkait tindak pidana ujaran kebencian. Selain secara pemindaan, Kepolisian juga melakukan penegakan dengan Pemblokiran.
Oleh : RANI PURNAMA SARI MAHASISWA MAGANG UIN MAHMUD YUNUS BATUSANGKAR