
Aceh, Haluan Demokrasi – Di dataran tinggi Gayo ada sebuah danau luas yg dikelilingi tebing-tebing hijau. Orang-orang menyebutnya Lut Tawar, laut yang tawar. Di pinggir ‘laut yang tawar tak bergaram’ itu, ada sesosok lelaki tua dengan sorot mata kehilangan gairah mengarahkan tangkai jaring nya ke sebuah jala seakan kebingungan akan tidak adanya hal lain yg bisa dilakukan mengisi petang di Gayo, selain memancing ikan/menjala ikan di danau, di samping keramba-keramba ikan, menyeruput kopi yg asapnya mengepul ditiup udara dingin.
Takengon, wujud kota dataran tinggi yg lamban dan bikin malas; pagi yg ditutup kabut, angin kering dari kebun kopi arabika maha luas yg bertiup bikin perut lapar, aroma kopi dari sentra-sentra pengolahan kopi sejak masa kolonial yang berpendar ke segala tempat.
Pagi baru dimulai dan semua orang menyambut sinar matahari dengan khidmat bagai upacara segeromolan serdadu sedang menaikkan bendera. Di kota-kota besar, matahari pagi hanyalah penanda yang diabaikan jutaan orang berangkat kerja, tergesa-gesa.
Di Gayo tidak ada yang tergesa gesa, kecuali sesekali lewat remaja yang kebut-kebutan tak karuan di depan warung kopi. Di warung-warung yang di bekap dingin, laki-laki melilitkan sarung ke leher, menyeruput kopi kental plus dua sendok gula, menyantap goreng pisang, tertawa-tawa, bercanda: kamu seperti orang barat saja, minta kopi arabika asam. Lidahmu sudah sakit. Orang barat itu banyak yang sakit.
Hari depan di Gayo adalah menyambut matahari yg muncul tiap pagi.
(Aprian Termulo)