JAKARTA, HALUAN DEMOKRASI — Sebagai suatu organisasi, Bea Cukai memiliki visi untuk menjadi institusi kepabeanan dan cukai terkemuka di dunia. Untuk mencapai visi tersebut, Bea Cukai memegang tiga fungsi utama, yaitu sebagai trade dan industrial facilitator, community protector, dan revenue collector.
“Bea Cukai juga didukung oleh tiap-tiap unit vertikal yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia untuk melakukan pelayanan, pengawasan, dan optimalisasi penerimaan di sektor kepabeanan dan cukai,” ujar Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa, Nirwala Dwi Heryanto, dalam media briefing yang dilaksanakan di Kantor Pusat Bea Cukai pada Jumat (10/01).
Bea Cukai telah melakukan berbagai upaya perbaikan dari segi pelayanan dan pengawasan, serta optimalisasi penerimaan di sektor kepabeanan dan cukai, sesuai dengan rencana strategis tahun 2020-2024. Penguatan Reformasi Kepabeanan dan Cukai Berkelanjutan (PRKCB) yang berlangsung sejak tahun 2021 hingga tahun 2024 menjadi langkah utama perbaikan Bea Cukai. Implementasi PRKCB merupakan komitmen bersama internal Bea Cukai di tingkat pusat dan vertikal yang ditandai dengan penandatanganan deklarasi komitmen internal.
Selanjutnya, implementasi reformasi dilaksanakan melalui optimalisasi dan penguatan tiga fungsi utama Bea Cukai yang dilakukan menyeluruh di tingkat pusat dan vertikal sepanjang tahun 2020-2024.
A. Optimalisasi Fungsi Trade dan Industrial Facilitator
Sebagai trade dan industrial facilitator, Bea Cukai memiliki empat strategi pelayanan untuk memfasilitasi perdagangan dan industri. Pertama, Bea Cukai melakukan perbaikan proses bisnis ekspor, impor, dan layanan pemeriksaan. Bea Cukai melakukan penyempurnaan regulasi dan harmonisasi kebijakan, sehingga menciptakan keselarasan regulasi dengan perpajakan, percepatan proses kepabeanan, efisiensi waktu dan biaya, serta peningkatan pengawasan.
Dalam pelaksanaan impor, realisasi durasi dwelling time fluktuatif pada lima tahun terakhir dengan data s.d. Desember 2024 3,52 hari. Namun, proses clearance kepabeanan mengalami percepatan selama lima tahun berturut-turut, hingga s.d. Desember 2024 mencapai 0,49 hari. Pelayanan ekspor juga mengalami percepatan dari semula 20 menit menjadi ±15 menit.
Nirwala mengungkapkan bahwa percepatan penataan sistem logistik nasional juga terus diupayakan melalui perluasan implementasi national logistic ecosystem (NLE). Sampai dengan 2024, telah terealisasi 53 pelabuhan dan 7 bandara internasional di Indonesia yang menerapkan NLE. “Dengan implementasi NLE, pengguna jasa mampu mengefisiensi waktu dan biaya untuk pengeluaran peti kemas dari pelabuhan,” imbuhnya.
Kedua, digitalisasi dan modernisasi proses bisnis melalui pengembangan sistem aplikasi Customs-Excise Information System and Automation (CEISA). Hasilnya, tingkat downtime CEISA mengalami penurunan. Sementara, kecepatan waktu sistem merespons mengalami percepatan, yang semula 6 detik menjadi 18,8 milidetik. CEISA berperan penting dalam revenue forecasting analytics dan Joint Probis IT untuk mendukung penerimaan negara. CEISA juga berperan dalam mengoptimalkan kegiatan operasional dan layanan.
Ketiga, peningkatan pelayanan fasilitas kepabeanan untuk mendukung industri dalam negeri. Bea Cukai memberikan dukungan kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) melalui optimalisasi Klinik Ekspor dan pemberian fasilitas KITE IKM. Pada tahun 2024, dari 1.364 UMKM binaan Bea Cukai terdapat 461 UMKM berhasil melakukan ekspor mandiri dan 158 UMKM berhasil ekspor melalui pihak ketiga.
Bea Cukai juga memberikan fasilitas pembebasan fiskal pada penanganan Covid-19 dan importasi untuk Badan Internasional. Hasilnya, realisasi nilai pembebasan mengalami peningkatan pada tiga tahun terakhir. Permohonan pembebasan juga mengalami efisiensi waktu pengajuan permohonan, yang semula lima hari menjadi satu jam.
Keempat, perbaikan pelayanan cukai melalui digitalisasi proses perizinan dan pelayanan fasilitas cukai. Percepatan pelayanan cukai dilakukan melalui digitalisasi layanan cukai dan simplifikasi dokumen. Dukungan Bea Cukai terhadap industri tembakau berdampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja pada pabrik hasil tembakau, sehingga jumlah tenaga kerja mengalami peningkatan pada empat tahun terakhir.
Kelima, Bea Cukai mengoptimalkan pengawasan di perbatasan melalui pengumpulan informasi dan pemetaan titik rawan pemasukan barang ilegal, sinergi penataan perbatasan, penataan kartu izin lintas batas (KILB), dan pengawasan kendaraan bermotor. Optimalisasi pengawasan perbatasan juga ditunjukkan melalui pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Jagoi Babang yang diresmikan pada tahun 2024.
“Wilayah perbatasan merupakan pintu masuk yang sangat rentan terhadap aktivitas ilegal. Melalui optimalisasi pengawasan di perbatasan, diharapkan dapat menjaga kedaulatan dan keamanan negara dari ancaman barang-barang ilegal dan berbahaya,” pungkas Nirwala.
C. Optimalisasi Fungsi Revenue Collector
Sebagai Revenue Collector, Bea Cukai memiliki empat strategi untuk mengoptimalkan penerimaan negara di sektor kepabeanan dan cukai. Pertama, Bea Cukai melakukan Joint Program dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui penetapan daftar sasaran bersama, pelaksanaan secondment, dan pengintegrasian data untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
Kedua, Bea Cukai melaksanakan audit kepabeanan dan cukai, melalui penerapan data analytic dalam audit, pelaksanaan intensifikasi teknologi dan informasi dalam audit (e-audit), serta penguatan unit analysis targeting dan utilisasi analyzing room. Penerapan audit juga merupakan extra effort Bea Cukai dalam menghimpun penerimaan negara di sektor kepabeanan dan cukai.
Ketiga, pengembangan dan kolaborasi sistem aplikasi CEISA SIAP TANDING dengan pengadilan pajak, serta pembangunan dual integrated database dalam pelaksanaan keberatan. Terakhir, keempat, optimalisasi penerimaan di sektor kepabeanan dan cukai melalui pelaksanaan dialog penerimaan, pembentukan tim optimalisasi penerimaan, pelaksanaan koordinasi dengan satuan kerja Bea Cukai, dan pelaksanaan intimasi interviu perusahaan.
Hasilnya, penerimaan dari sektor kepabeanan dan cukai pada tahun 2024 mengalami pertumbuhan dari tahun sebelumnya. Dengan rincian, penerimaan bea masuk sebesar Rp53,0 triliun atau tumbuh 4,1 persen (yoy), penerimaan bea keluar sebesar Rp20,9 triliun atau tumbuh 53,6 persen (yoy), penerimaan cukai hasil tembakau sebesar Rp216,9 triliun atau tumbuh 1,6 persen (yoy), dan penerimaan cukai MMEA dan EA sebesar Rp9,2 triliun atau tumbuh 13,9 persen (yoy).
“Keberhasilan implementasi program reformasi ini tentu melibatkan berbagai pihak, termasuk integrasi data lintas kementerian dan lembaga. Kolaborasi menjadi kunci utama untuk menciptakan sistem kepabeanan dan cukai yang modern, transparan, dan akuntabel,” pungkas Nirwala.
(Tim)