JAKARTA, HALUAN DEMOKRASI- Setiap menjelang Idul Fitri, umat Islam disibukkan dengan kewajiban menunaikan zakat fitri. Sebagai salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh mereka yang mampu, zakat fitri memiliki tujuan mulia: menyucikan jiwa sekaligus membantu meringankan beban saudara sesama muslim yang kurang beruntung.
Namun, di tengah proses pengumpulan dan pendistribusian zakat fitri, muncul pertanyaan: apakah panitia atau amil berhak mendapatkan bagian dari zakat ini?
Untuk menjawabnya, kita perlu merujuk pada sabda Rasulullah SAW yang termaktub dalam hadis riwayat Ibn Abbas:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: “فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ اْلفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ”. [رواه أبو داود]
“Diriwayatkan dari Ibn Abbas, ia berkata: “Rasulullah saw mewajibkan zakat fitri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari kata-kata yang sia-sia dan porno dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin”. (HR. Abu Dawud).
Hadis ini dengan tegas menyebut bahwa zakat fitri diperuntukkan secara khusus untuk orang-orang miskin. Tidak ada penyebutan golongan lain sebagaimana dalam zakat maal, yang mencakup delapan asnaf, termasuk amil, seperti yang diatur dalam Al-Qur’an, Surah At-Taubah ayat 60.
Kejelasan ini membawa kita pada kesimpulan awal: amil, atau mereka yang bertugas mengelola zakat, berdasarkan Fatwa Tarjih, tidak berhak menerima zakat fitri sebagai bagian dari penerima manfaat.
Zakat fitri berbeda dari zakat maal, baik dalam tujuan maupun mekanismenya. Jika zakat maal bertujuan untuk mengelola harta secara luas dan mendukung berbagai kebutuhan umat, zakat fitri lebih sederhana dan spesifik: memberikan bantuan langsung kepada orang miskin agar mereka dapat turut merayakan hari kemenangan.
Oleh karena itu, secara syariat, amil tidak termasuk dalam golongan penerima zakat fitri, kecuali jika mereka sendiri memenuhi kriteria sebagai orang miskin.
Namun, realitas di lapangan sering kali menimbulkan pertimbangan tambahan. Proses pengumpulan, pendistribusian, dan pengelolaan zakat fitri membutuhkan tenaga, waktu, dan biaya. Amil kerap menghadapi kebutuhan praktis seperti biaya administrasi, transportasi, atau logistik lainnya.
Dalam situasi di mana tidak ada sumber dana lain yang tersedia, maka Majelis Tarjih membolehkan penggunaan sebagian kecil harta zakat fitri untuk keperluan tersebut. Ini bukan berarti amil “mengambil bagian” untuk kepentingan pribadi, melainkan memastikan zakat sampai ke tangan yang berhak dengan cara yang efektif. Tentu saja, langkah ini harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian, transparansi, dan hanya sebagai solusi terakhir.
Jadi, apakah amil berhak mendapatkan zakat fitri? Secara prinsip, tidak. Zakat fitri adalah hak eksklusif orang miskin. Namun, dalam konteks operasional, ada ruang fleksibilitas yang sangat terbatas untuk mendukung kelancaran tugas amil, asalkan tidak menyimpang dari tujuan utama zakat itu sendiri.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, “Fatwa Tarjih Tentang Bagian Zakat Fitrah Untuk Amil”, https://web.suaramuhammadiyah.id/2016/07/01/fatwa-tarjih-tentang-bagian-zakat-fitrah-untuk-amil/, diakses pada Senin, 24 Maret 2025. Senin, 24 Maret 2025