
HALUAN DEMOKRASI – Remah-remah kehidupan yang setiap hari dipungut terkadang membuat kita banyak-banyak bersyukur. Membuat kita banyak-banyak merangkul diri.
Kadang kita yang menganggap diri paling sengsara plus merana rani, ternyata saat melihat kiri, kanan seperti kucing mau nyebrang jalan membuat kita spontan mengucap, ‘Alhamdulillah’.
Alhamdulillah masih bisa bekerja karena secapek-capeknya bekerja, lebih capek tidak bekerja.
“Sabananyo tu, Tek Nun?” tanyamu dari seberang.
“Kalau tak percaya tanya sama orang yang tidak bekerja.”
“Alhamdulillah, masih bisa makan 3x sehari toping karupuak jariang.”
“Alhamdulillah masih sehat.”
“Alhamdulillah masih bisa sekolah walau uang jajan pas-pasan.” Karena masih banyak anak-anak di luar sana yang ingin sekolah tapi tidak punya biaya.
“Alhamdulillah masih bisa kerja karena banyak di luar sana teman-teman yang ingin kerja tapi tak ada orang dalam yang bisa bantu.”
“Ups, Tek Nun masuk kerja dulu dibantu ordal ya?”
“E yayai. Orang dalam pulo kecek kamu. Bisa sajo barangok lah mujua tu. Jaleh amak jo ayah Tek Nun ndak pernah makan bangku sekolah.”
“Bahaya pula amak jo ayah Tek Nun tu. Minangnya asli bgt.
“Baa kok mantun pula kecek kamu?”
“Yo, kalau urang Minang kan sagalo ka dimakannyo.”
Goreng Pisang batu, Goreng ubi kayu, Gulai paku, Tumis tombak dan lain-lain
E yayai
Nan ka lamak-lamak dek awak sajo yo
“Tapi, betul sekali, Bu,” sambung Kui seorang pemuda Mentawai yang doyan nulis.
“Akan ada suatu hal yang membuat kita tersadar bahwa apa yang kita anggap kurang pada diri dan kehidupan kita, ternyata sesuatu hal yang sangat diinginkan orang lain. Bahkan, lebih dari itu mereka menganggap kita sudah hebat dan sukses. Padahal aslinya baru remahan-remahan kesuksesan.”
Eits, mantap kali petuah Kui ini. Tek Nun serasa dibawa jalan-jalan ke Mentawai sana. Kampung Kui yang alam dan pantainya indah itu.
Serasa pengen main pasir, cari umang-umang, dan kejar-kejaran bersama ombak yang semangatnya selalu menyala.
“Yuk lah nulis. Ditunggu tulisan Kui yang berbau-bau Mentawai. Mana tau lewat menulis, Kui benar benar jadi orang sukses.”
“Kalau Ibu, cukup nulis yang berbau jengkol dan petai saja plus beraroma panci gosong!”
“Iya, Bu. Insyaallah. Sudah ada beberapa tulisan yang dibubuhi bumbu Mentawai, Bu. Meski ada saja orang yang mencibir,” ucap Kui sambil merangkul rasa sedih.
“Tanam padi tumbuh ilalang. Tanam ilalang mustahil tumbuh padi. Semangat,” ucap Tek Nun sambil melempar api obor kepada pemuda kalem itu.
Begitulah jika kita menanam kebaikan. Akan selalu ada ilalang-ilalang pengganggu. Yang penting kita jangan pernah menjadi ilalang pada tanaman padi orang lain.
By : Tek Nun