Penulis:
Bayu Purnomo Saputra
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Syekh-Yusuf, Tangerang, dan Praktisi Hukum di Bengkulu
Negara yang besar adalah negara di mana hukum berbicara lebih lantang daripada penguasa. Dalam perjalanan sejarah bangsa mana pun, tegaknya hukum menjadi tolak ukur utama bagi keadilan dan kemajuan. Sayangnya, di banyak negara, termasuk Indonesia, hukum kerap kehilangan suaranya ketika berhadapan dengan kekuasaan. Keadilan menjadi tersandera, dan hukum hanya menjadi alat bagi segelintir elite yang mampu membelinya. Ini adalah pengkhianatan terhadap cita-cita luhur negara hukum yang sejatinya memperlakukan semua warganya setara di mata aturan.
Hukum, dalam fungsinya yang paling murni, adalah benteng perlindungan bagi rakyat dari kesewenang-wenangan. Ia harus berbicara keras ketika kekuasaan melenceng, dan berdiri tegak meski di tengah tekanan politik, ekonomi, atau sosial. Hukum yang otonom bukan hanya syarat formal dalam sebuah negara demokrasi, melainkan fondasi moral yang menjaga martabat bangsa di hadapan warganya sendiri.
Kini, lebih dari sebelumnya, kita membutuhkan keberanian untuk mengembalikan hukum ke tempatnya yang terhormat. Para penegak hukum, akademisi, hingga masyarakat sipil harus bersama-sama menuntut agar hukum kembali berbicara, tidak untuk melayani kepentingan pribadi, tetapi untuk menjunjung tinggi keadilan sejati, tanpa pandang bulu.
Tantangan terbesar dalam mewujudkan otonomi hukum adalah keberanian untuk bersikap independen. Tanpa keberanian ini, hukum hanya akan menjadi panggung sandiwara, tempat skenario kekuasaan dimainkan dengan aktor-aktor bertopeng keadilan. Proses peradilan harus dibangun di atas asas independensi, objektivitas, dan transparansi, bukan diwarnai tekanan, intimidasi, atau transaksi.
Sebagai bangsa, kita harus belajar bahwa kekuasaan tanpa kontrol hukum akan berubah menjadi tirani. Kita tidak boleh membiarkan hukum hanya menjadi catatan dalam teks konstitusi, sementara realitas di lapangan berbicara sebaliknya. Kedaulatan rakyat, sebagaimana dijanjikan dalam demokrasi, hanya dapat terwujud jika hukum ditegakkan tanpa rasa takut dan tanpa pandang bulu.
Membangun kemandirian hukum bukan pekerjaan mudah. Dibutuhkan komitmen kolektif, reformasi institusional yang berani, serta budaya hukum yang menghormati nilai-nilai keadilan. Tidak cukup dengan retorika, dibutuhkan tindakan nyata. menguatkan lembaga pengadilan, memperketat akuntabilitas aparat penegak hukum, dan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk tidak tunduk pada praktik-praktik kotor.
Di tengah tantangan zaman ini, kita harus terus mengingat, hukum yang lemah adalah cermin bangsa yang rapuh. Sebaliknya, hukum yang berani, mandiri, dan adil adalah pilar bangsa yang kokoh. Sudah saatnya kita memastikan bahwa di Indonesia, hukumlah yang berbicara, bukan kekuasaan.
Call to Action:
Sebagai masyarakat yang mencintai keadilan, kita semua memiliki peran dalam memperjuangkan kemandirian hukum. Sudah saatnya kita mendukung reformasi hukum yang menempatkan keadilan di atas segala-galanya. Mari bersama-sama mengawasi dan mendukung langkah-langkah penegak hukum yang berani dan adil, serta memastikan bahwa hukum kembali pada fungsi sejatinya: bukan sebagai alat kekuasaan, tetapi sebagai pelindung hak-hak kita semua. Suara kita sebagai warga negara yang berdaya adalah kunci untuk mewujudkan hukum yang mandiri dan berkeadilan.
Penutup:
Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi negara yang adil, sejahtera, dan demokratis. Namun, itu semua hanya mungkin terwujud jika kita memberikan tempat yang layak bagi hukum untuk berbicara tanpa rasa takut. Kita tidak bisa terus membiarkan kekuasaan merusak keadilan.
Hanya dengan menegakkan hukum secara independen, kita akan mencapai masyarakat yang benar-benar bebas, adil, dan makmur. Maka dari itu, marilah kita bersama-sama menjaga dan memperjuangkan kemandirian hukum, untuk masa depan yang lebih baik bagi Indonesia.